Di sebuah rumah sederhana di sudut kota kecil, tinggal seorang pria berusia 53 tahun, namanya Wawan Kusmawan. Meski penglihatannya terbatas, semangatnya untuk menjalani hidup tetap tak pernah padam. Setiap pagi, Pak Wawan menata tikar kecil dan mempersiapkan minyak pijatnya. Pekerjaan sebagai tukang pijat refleksi sudah ia jalani sejak tahun 2012. Lebih dari 13 tahun ia menggantungkan hidupnya dari sentuhan tangan yang memberi rasa lega bagi orang lain.
“Alhamdulillah, masih bisa bekerja dengan apa yang Allah titipkan,” katanya sambil tersenyum. Senyum itu sederhana, tapi di baliknya tersimpan kisah panjang tentang perjuangan, kesabaran, dan rasa syukur.
Perjalanan Panjang Seorang Tukang Pijat
Sejak menamatkan pelatihan pijat dari Departemen Sosial pada tahun 1992, Pak Wawan memantapkan diri untuk menekuni dunia pijat refleksi. Awalnya, profesi ini ia tekuni secara sambilan, sambil mencari tambahan penghasilan. Namun, sejak tahun 2012, ia memutuskan fokus membuka usaha pijat sendiri.
Di awal usaha pijatnya, pelanggan datang hampir setiap hari. Waktu itu, Pak Wawan bisa melayani 2 sampai 3 orang dalam sehari. Kehidupannya berjalan sederhana tapi cukup. Namun, pandemi beberapa tahun lalu membawa perubahan besar. Sejak saat itu, jumlah pelanggan menurun drastis. Sekarang, ia hanya bisa menerima sekitar 20 pesanan pijat dalam sebulan — dan itu pun tidak selalu pasti.
Namun, tak sekalipun Pak Wawan mengeluh. “Rezeki sudah ada yang atur,” ucapnya pelan. Prinsip itu yang membuatnya tetap tegar berdiri. Meski kesulitan, ia tak pernah berhenti berusaha.
Tinggal Sendiri, Menjalani Hari dengan Tegar
Pak Wawan kini tinggal seorang diri. Beberapa tahun lalu, rumah tangganya berakhir pada perceraian. Dua anaknya kini merantau, bekerja di luar kota, dan jarang bisa pulang. Meski jauh, hubungan mereka tetap terjaga lewat kabar sederhana di ujung telepon.
Kesendirian itu kerap membuat rumah terasa sepi. Tak jarang, setelah melayani pelanggan pijat, ia duduk sendirian di ruang tamu, meraba mushaf Braille kesayangannya. Mushaf itu adalah teman setia sejak dulu, membantu Pak Wawan menjaga hafalan dan tilawahnya.
Al-Qur’an Braille yang Mulai Tak Terbaca
Mushaf Braille milik Pak Wawan sudah menemani hari-harinya selama bertahun-tahun. Namun kini, kondisinya mulai memprihatinkan. Banyak titik-titik Braille yang memudar dan ada halaman-halaman yang sulit dibaca sama sekali.
“Masih bisa dipakai, cuma tulisannya sudah memudar jadi sulit dibaca,” ujarnya sambil meraba perlahan halaman mushafnya.
Ada kesedihan dalam nada suaranya, tapi ia mencoba menyembunyikannya dengan senyum tipis. Meski begitu, Pak Wawan tak pernah berhenti bersyukur. Baginya, selama masih diberi kesempatan membaca walau terbatas, itu sudah cukup.
Sampai suatu hari, kabar baik datang.
Ketika Harapan Itu Datang
Melalui program Wakaf Al-Qur’an Braille Yayasan Desa Hijau, Pak Wawan akhirnya mendapatkan mushaf baru. Saat jari-jarinya pertama kali menyentuh titik-titik Braille yang jelas dan rapi, senyumnya langsung merekah. Seolah ada cahaya baru yang hadir di hidupnya.
“Saya bersyukur sekali… sekarang saya bisa membaca lagi dengan lebih nyaman,” ucapnya lirih, matanya berkaca-kaca.
Al-Qur’an baru itu bukan sekadar buku. Bagi Pak Wawan, mushaf itu adalah jembatan harapan. Dengan mushaf baru, ia bisa kembali mendalami hafalan, memperkuat tilawah, dan menjaga hubungannya dengan Al-Qur’an.
Bagi sebagian orang, mushaf mungkin hanya sekadar lembaran kertas berisi ayat-ayat suci. Tapi bagi penyandang tunanetra seperti Pak Wawan, mushaf Braille adalah pelita dalam kegelapan.
Sayangnya, biaya untuk mendapatkan mushaf Braille yang layak tidaklah murah. Banyak dari mereka yang harus bertahan dengan mushaf lama, seperti yang dialami Pak Wawan selama bertahun-tahun.
Inilah kenapa wakaf Al-Qur’an Braille menjadi begitu berarti. Satu mushaf bisa menjadi pintu kebaikan yang tak pernah terputus — bukan hanya untuk penerimanya, tapi juga untuk para pewakafnya.
Setiap ayat yang dibaca, setiap doa yang dipanjatkan, Insya Allah menjadi aliran pahala tanpa henti.
Saat kami menutup perbincangan, Pak Wawan tersenyum kecil dan berkata:
“Semoga Allah membalas kebaikan para pewakaf. Saya nggak bisa kasih apa-apa… hanya doa, semoga hidupnya dilapangkan dan diberkahi.”
Kalimat sederhana itu terasa begitu dalam. Dalam kesederhanaannya, ada ketulusan, ada syukur, dan ada harapan.
Kisah Pak Wawan hanyalah satu dari banyak cerita penyandang tunanetra yang ingin terus dekat dengan Al-Qur’an. Masih banyak saudara-saudara kita yang kondisi mushafnya sudah rusak, atau bahkan belum punya sama sekali.
Sahabat Dermawan, melalui program Wakaf Al-Qur’an Braille ini, kita bisa ikut mengambil bagian dalam perjuangan mereka.
Satu mushaf yang kita wakafkan bisa menjadi cahaya dalam hidup mereka — sekaligus menjadi bekal amal jariyah bagi kita di akhirat nanti.
💚 Mari hadirkan mushaf baru, mari hadirkan harapan baru.
🔗 Donasi Sekarang di BerbagiAmal.com
BACA JUGA: Anak Yatim Bukan Beban, Mereka Titipan yang Menumbuhkan Harapan